Semua hal yang meliput diri kita
adalah karunia tuhan yang patut diterima
dan disyukuri. Begitulah cara aku menghindari kufur atas nikmat tuhan. Sejak
awal april 2018 aku telah memulai hidup yang baru. Mengambil keputusan yang butuh
pertimbangan besar juga mengorbankan beberapa
kepentingan. Aku kira ini akan berjalan sangat mulus ternyata tidak. Untungnya
aku tidak serta merta berfikir semuanya akan baik-baik saja. Aku menyisipkan ‘hidupku
akan sulit’ di deretan pertimbanganku dan ini cukup berperan menebal mentalku.
Aku keluar dari comfort zone, memasuki zone yang baru, yang sangat
membutuhkan adaptasi. Hari-hari berjalan begitu saja. Tidak berhak diungkap
melelahkan atau membahagiakan. Bahkan garis deretan semut di tembok lebih indah
dibanding hari-hari ku. Waktu ku setiap hari nya lebih banyak ku porsikan untuk
mengurus keponakan ku yang baru berusia 2 tahun. Aku mampu merasakan bagaimana
nyamannya anak balita, seringkali aku diandalkan untuk menyuapi keponakanku
saat sulit makan, tidak mau mandi, atau sedang menguring.
Namun ada kalanya hari-hari terasa begitu sulit. Tidak ada dering sms
banking setiap tangal 25 seperti sebelumnya. Hanya ada sms promo dari berbagai
produk dan notifikasi kuota internet ku yang habis lebih cepat dari biasanya
apalagi jika ada undangan pernikahan, limit pengeluaranku bisa lebih besar dari
yang aku targetkan. Tidak banyak yang bisa diusahakan setidaknya aku mampu
fokus dan bertahan. Menjadi pengangguran tidak
semudah yang dibayangkan saat dulu bosan bekerja. Jobless syndrome, ya
ini adalah kelainan yang aku alami selama 3 bulan terakhir. Syndrome yang dulu
aku khawatirkan terjadi kepada ayahku sebelum beliau pensiun dari pekerjaannya.
Nyatanya terjadi mutlak padaku. Gejala ini membuat diriku sangat sensitif.
Mungkin seperti ini rasanya menjadi wanita datang bulan atau seseorang yang
belum menikah hingga usianya mencapai setengah abad.
Secara emosional aku mudah terusik terhadap hal-hal yang sebelumnya sangat
mudah aku abaikan. Terkadang aku marah hanya karna ibu ku bersaran atas
sesuatu, marah ketika aku sadar pasta gigi ku tidak berada pada posisi biasanya
aku berfikir bahwa ada yang menggunakan pasta gigiku, merasa payah ketika adik
ku memberikan angpao lebaran ke sanak saudara dihadapanku, merasa payah ketika
kakak ku baru saja membeli Iphone baru seharga belasan juta dan banyak lagi
gejala-gejala lainnya. Aku menjadi sangat pelit namun untungnya aku sadar bahwa
ini adalah sebuah gejala pengangguran. aku selektif menghitung uang yang keluar
dari kantongku bahkan sekecil Rp.2000. mungkin untuk sebagian orang ini aneh
namun beginilah cara aku bertahan hidup.
Aku tidak ingin membebani orang tua ku untuk meminta uang saku lagi
jikalau tabunganku habis. Aku maupun orang lain dapat menilai bahwa aku orang
yang penyabar atas setiap problem yang mudah membuat stress orang lain.
Sehingga aku sering dijadikan penengah oleh teman-temanku. Tapi dalam fase ini
aku banyak gagal. Aku tidak berhasil sabar, aku mudah marah dan kecewa.
Aku bersyukur tuhan memberikanku lagi suatu fase dimana aku bisa merasakan
menjadi orang lain. Sebuah anugerah yang belum tentu diberikan kepada orang
lain. Yang aku pahami adalah menjadi siapapun tidak pernah mudah. Aku
mengilhami diriku untuk jangan pernah meremehkan kehidupan orang lain. Mereka
bersusah payah untuk bertahan hidup. Aku
sangat beruntung.
Aku tergolong pria yang punya cita-cita yang besar. orang tua ku sering
bilang aku banyak mau nya. Bekerja di luar negeri, memiliki tubuh yang ideal,
menjadi entrepreneur, memiliki keluarga yang bahagia dan berpendidikan tinggi
adalah sederet cita-cita ku, sehingga banyak aturan yang aku bangun untuk
diriku sendiri hingga saat nya tiba aku sudah siap dengan segala kebiasaannya.
Aku belajar membiasakan diriku dengan rutinitas yang positif karna aku
percaya orang yang berhasil memiliki kebiasaan yang positif setiap harinya. Membaca
buku, olahraga, praktik bahasa asing, beribadah, pola makan sehat adalah metode
yang aku bangun untuk mencapai semuanya, namun dalam fase ini rutinitas itu
sering rontok. Kadang aku depresi “apa
yang aku cari dalam hidup ini? Apa yang sudah aku lakukan hingga berani
mengorbankan segalanya? Umurku makin bertambah. Aku gila, bodoh, ketinggalan
dengan yang lain” tanyaku dalam hati. Aku coba bertoleransi dengan diri ku
sendiri bahwa untuk mencapai tujuan tidak pernah langsung berhasil, trial and
error selalu terlibat.
Aku tahu untuk mencapai kesuksesan memang tidak mudah, nyatanya sebuah kata
tidak seberat saat mengalami. Aku benar-benar merasa down. Besar keinginanku
untuk kembali seperti orang lain. Bekerja, menjalani hidup apa adanya, linier
tanpa masalah tidak cemas berapapun rupiah yang keluar karena tanggal 25 selalu
bertemu. Namun nalar ku tidak henti berbisik “jangan bersikap bodoh, hidup
tidak ada yang mudah, apalagi kamu ingin menjadi sesuatu yang kamu impikan
bertahun-tahun sejak kamu kecil, jangan membohongi hatimu, tetap fokus, tenang,
jika lelah ambil porsi untuk istirahat” hingga akhirnya otak dan hatiku
bersinkronasi membuahkan kalimat sederhana yang penuh makna “i did my best”
begitulah sabda ringan yang keluar secara alami. Kapanpun aku depresi kalimat
itu seakan menghapus hutang-hutangku membenamkan segala ‘keharusan’. Aku
menjadi pribadi yang lebih ikhlas dan mudah bangkit.
0 komentar:
Posting Komentar