Kamis, 07 Februari 2019

HBD - Home Based Daddy


Happy birthday to you, Happy birthday to you, happy birthday.. happy birthday.. happy birthday to you. Begitu sorak nyanyian dan rempakan tepuk tangan yang sering terdengar di pesta ulang tahun anak-anak. Setiap orang berdoa untuk keberkahan yang berulang tahun agar selalu sehat, berbakti kpd orang tua, rajin ibadah dan menjadi anak yang sukses. Namun kesuksesan tidak serta merta datang dari doa yang dipanjatkan lewat nyanyian sewaktu pesta. Lebih mujarab nya adalah doa orang tua setiap waktu. Tanpa doanya seorang anak hanyalah berjalan ditempat.

Orang tua yang memiliki ekspektasi kualitas hidup bagi anaknya adalah mereka yang berstrategi all out memberikan perhatian dan segala kemampuannya untuk kehidupan anak dari segi financial dan waktu. Umumnya waktu hadirnya orang tua lebih impactful memicu peningkatan kecerdasan dan perilaku anak. kehadiran orang tua berperan mengawasi perilaku anak, mendorong semangat anak dan sebagai ‘rumah lelahnya’ anak.

Berbicara tentang orang tua yang selalu terbesit adalah seorang ibu, padahal peran ayah tak kalah penting. Di zaman pergaulan yang semuanya easily reachable tugas ayah bukan hanya mencari nafkah. Namun membantu ibu memonitor perilaku anak setiap hari. Sehingga kehadiran ayah dirumah mutlak adanya.

Home Based Daddy atau kehadiran ayah dirumah merupakan ungkapan yang saya berikan untuk mengkritisi posisi keberadaan ayah dalam tumbuh kembang seorang anak. Kita tidak perlu mengkritisi soal mata pelajaran PPKN zaman dahulu yang berisi : apa tugas seorang ayah? A. Mengurus anak B.Mencari nafkah C.Membantu ibu. Karena saat ini dan seterusnya semua jawaban diatas adalah benar.

Kita tidak bisa menyamaratakan peran masing-masing orang tua dahulu kala. Waktu saya kecil ibu saya total menjadi seorang pengasuh dan pengurus rumah. Menggosok baju, menjemur pakaian, memandikan adik dll namun karena kebutuhan ekonomi mulai meningkat kami mulai membuka toko sembako dan ibu saya menjadi distributor laundry. Tak bisa dipungkiri saat ini peran ibu sudah beralih profesi menjadi ‘ayah’ yang membantu keluarga mencari nafkah. Sehingga juga sebaliknya, ayah pun harus turut beralih profesi menjadi ‘ibu’ yang mengurus anak, membantu mengerjakan PR hingga menemani anak bermain. dengan demikian peran keduanya dalam merawat anak dan memenuhi kebutuhan sehari-hari bisa seimbang.

Ingat berita yang sempat happening soal kekeliruan identitas diri LGBT?. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya intensitas ayah dirumah. Anak yang kekurangan waktu bersama  ayah menimbulkan perilaku yang cenderung feminim, bias wawasan gender, sensitif, minim leadership dan bermental tempe. Ketika dirundung masalah seorang anak cenderung memilih lingkungan yang nyaman buatnya berbagi kisah. Sehingga ketidakhadiran ayah dirumah mengalihkan penantian anak menemukan pembimibing yang tepat.

Bahkan Dalam jurnal Popenoe (1997) yang berjudul Life Without Father disebutkan bahwa runtuhnya kesejahteraan anak-anak di Amerika Serikat meliputi penyalahgunaan alkohol, tindak kekerasan, pergeseran usia korban kemiskinan mengacu pada ketidakhadiran ayah pada masa pendewasaan anak. Keberadaan ayah dirumah membantu proses pendewasaan anak-anaknya sepanjang hidup, selain sebagai pelindung ayah juga menjadi sosok panutan. Kehadiran ayah bagi seorang little princess memudahkan perjalanan pendewasaannya. Lewat ayah anak perempuan belajar bagaimana berkomunikasi dengan lawan jenis, wawasan heteroseksual dan batas intim bergaul. Yang terpenting adalah dicintai oleh seorang ayah memberi kesan mereka pantas dihargai. bagi little prince ayah memberikan edukasi soal otoritas dan disiplin. Seorang ayah membantu anak laki-laki mengembangkan kontrol diri dan perasaan empati terhadap orang lain.

Dalam penelitian Krampe (2015) yang berjudul “When Is the Father Really There?”  disebutkan bahwa suara seorang ayah memiliki makna simpatik dibanding ibu. Suara ayah dapat menjamin keamanan bagi anaknya. Sedangkan sentuhan ayah lewat dekapan dan sandaran bahu ketika anaknya dirundung masalah memberi kehangatan dan dukungan emosional.

Sudah sepatutnya seorang ayah zaman now berperan menjadi Home Based Daddy yang membantu istri bersih-bersih, mengerti perilaku anak, menjadi sandaran anak, memberikan nilai kepemimpinan dan menjadi panutan yang memberi pedoman religius sebagai bekal kebutuhan jangka panjang anak. seperti yang pernah dikatakan seorang pahlawan nasional Ahmad Dahlan  “Warisan terbesar seorang ayah adalah dapat membuat keluarganya sebagai teladan“

Selasa, 05 Februari 2019

MENGAPA SAYA BERSEMANGAT MELANJUTKAN STUDI

Satu semester perkuliahan berhasil saya lewati dengan baik meskipun beberapa target nilai masih meleset, saya bersyukur dengan apa yang saya terima. Hampir 1 tahun perjalanan saya memperjuangkan studi saya jenjang master. Jika diingat-ingat rasanya tidak menyangka bisa melewati semuanya meskipun perjalanan masih amat panjang, namun untuk kedisiplinan sudah cukup baik.

Saya urai kembali perjuangan melanjutkan studi saya. Saya memang bercita-cita memiliki pendidikan yang tinggi. Berangkat dari pandangan orang-orang tentang anak betawi yang pemalas hingga rasa kegelisahan yang mengeruak tentang kualitas hidup orang betawi. Ayah saya hanya lulusan SMP namun beliau pribadi yang sangat kuat. Beliau ditinggal oleh uwan (sebutan ayah bagi orang betawi) saat usianya masih sangat muda, ini merupakan alasan mengapa beliau tidak mampu melanjutkan sekolahnya. Beliau adalah pribadi yang sangat kuat. Berbekal bangku sekolah yang cukup singkat beliau mampu bertahan hidup di Jakarta. menghidupi 3 orang anak hingga selesai sekolah. Saya dan kakak berhasil mendapat gelar sarjana. Adik saya sempat PKL di Malaysia dan Thailand. Semuanya tentu berkat deras keringat dan piluh kerja keras kedua orang tua. Sungguh tidak mudah menjadi individu yang minim pendidikan namun mampu bertahan di Jakarta. Hingga saat ini beliau masih mempertahankan peninggalan aset orang tuanya dahulu. Luar biasa! Banyak kerabat beliau yang sudah menghabiskan asetnya untuk bertahan hidup. Bahkan ada yang kesehariannya sudah ‘tidak jelas’

Hal inilah yang menjadi ambisi saya untuk mengenyangkan hidup saya melalui pendidikan. Buat saya pendidikan adalah proses pembentukan arwah. Kadang tidak terlihat namun amat bisa dirasakan. Sedangkan ilmu pengetahuan adalah arwah yang akan membawa jasad kita dari keterpurukan menuju hidup yang berkualitas. Pendidikan bukan hanya di bangku sekolah, bisa juga di sekeliling kita. namun yang jadi permasalahan adalah apakah lingkungan kita dapat memberikan pengaruh baik? Sayangnya tidak, sekolah adalah salah satu ruang dimana kita dapat hidup dalam budaya akademik.

Saya adalah individu yang ‘pilah-pilih’ dalam berteman. Jika saya begitu menganut kebebasan bergaul mungkin nasib saya sekarang sudah seperti teman saya kebanyakan. Banyak yang berhenti sekolah banyak juga yang menganggur setelah lulus sekolah. Bahkan beberapa terlibat tindakan kriminal. Ingat berita pencurian yang terjadi dirumah presenter kondang Raffi Ahmad? Tersangka adalah teman kecil saya.

Ketika saya menentukan untuk keluar dari pekerjaan saya sebagai karyawan Bank dan melanjutkan studi jenjang master banyak yang menyudutkan impian saya. Selain karena keluar dari kantor bergengsi, jurusan yang akan ditekuni tidak selaras dengan background sebelumnya. Saya memilih Psikologi Pendidikan. Mereka bilang ‘yang penting sudah sarjana’ lainnya ‘kenapa  ga nyambung (sambil tertawa aneh)’. Saya tidak menyalahkan reaksi mereka atas tindakan yang saya ambil. Karena sebagian besar orang-orang bersikap spontan atas kejadian yang lewat depan mata, sangat jarang yang menimbang sebelum menanggapi. Kecuali mereka yang pandai menghargai atau bersaran dengan bijak. Untungnya semakin banyak tanggapan yang menyerang saya menjadikan saya pribadi yang kokoh dan mandiri. Saya kira memang nantinya kita akan hidup masing-masing tidak bergantung orang lain. Jadi saya tetap melanjutkan keinginan saya yaitu melanjutkan studi jenjang master. 

Saya memiliki alasan tersendiri mengapa saya rela keluar dari pekerjaan yang sudah ‘enak’  dengan melanjutkan studi master yang tidak linier. Saya menentukan resign saat bulan-bulan pengangkatan menjadi pegawai tetap. Alhamdulillah kinerja saya cukup baik, setiap tahunnya saya dan team mendapat reward dari kantor pusat. Jalan mengundurkan diri tentunya sangat beresiko dari segi biaya. Saya tidak mungkin merengek kepada ayah ibu untuk membiayai saya lagi. Jadi saya putuskan untuk membiayai semuanya sendiri. Selain itu mempelajari bidang baru selama bertahun-tahun tentunya tidak mudah. Hal ini yang tidak bisa saya jabarkan kepada satu persatu orang yang kepo. Well, let me explain. Sejak SMP saya aktif  berorganisasi, dari pribadi saya yang pendiam dan cupu saya nekat untuk berani peduli dengan lingkungan sekitar. Saya aktif dalam kepengurusan OSIS. Setelah lulus SMP tepatnya awal tahun SMA yaitu 2009 saya dan teman-teman membentuk komunitas sosial. Kami dibina oleh seorang guru untuk menjadi manusia yang menebar manfaat buat orang lain. Banyak program yang kami selenggarakan, saya pun sempat menjadi ketua umum tahun 2012. Saya menjalin relasi dengan remaja masjid mengadakan les murah Matematika. Kemudian mengadakan seminar bebas narkoba di lingkungan duren tiga dan pengobatan gratis. Program-program yang kami adakan tidak berjalan mulus begitu saja. Banyak tantangan-tantangan yang menghambat mulusnya kegiatan yang kami adakan. Bahkan beberapa masalah pernah menghentikan perjalanan kami.

Dalam periode masa jabatan saya, kami mengadakan les murah Matematika di kawasan warung buncit. Peminatnya cukup banyak, Kami tahu bahwa matematika adalah momok bagi adik-adik sekitar. Banyak mereka yang mengeluh sulitnya belajar Matematika, para ibu-ibu juga mencemaskan kemampuan anaknya menuju UN. Singkat cerita kami diizinkan menggunakan ruang serbaguna musholla untuk belajar. Perjalanan kami berlaju hampir setahun hingga tersiar kabar tidak enak yang terpaksa mengalihkan ruang belajar ke salah satu rumah anggota komunitas kami. Mereka menganggap les murah yang kami adakan merupakan bisnis keluarga padahal iuran yang kami minta sangat murah dan tidak ada paksaan. Situasinya menjadi sangat sulit, kami mengajar desak-desakan yang menjadikan suasana tidak kondusif, akhirnya kami memilih untuk vakum dan mencari cara lain untuk menolong adik-adik menghadapi persoalan Matematika.

Semangat dari para orang tua mendorong kami untuk terus maju menjadi anak muda yang berguna. Setelah setahun lebih vakum, kami berhasil bekerjasama dengan remaja masjid tidak jauh dari lokasi sebelumnya. Kali ini pendaftar jauh lebih banyak dari sebelumnya. Saya mengajak teman-teman mahasiswa untuk menjadi relawan sebagai pengajar adik-adik. Testimoninya beragam, tidak sedikit yang berterimakasih atas inisiatif yang kami berikan ditengah minimnya kesadaran pendidikan. Namun perjalanan kami lagi-lagi mendapat masalah. Kali ini dari internal dan eksternal. Tenaga pengajar kami mulai sibuk membuat skripsi tugas akhir mereka membuat kami pontang-panting menjadi guru pengganti. Gaya mengajar mulai tidak teratur sehingga satu persatu mereka mengundurkan diri dari tempat belajar. Bukan hanya itu, kami kembali mendapat kabar dari salah satu tokoh masjid bahwa belajar Matematika kurang tepat dipelajari didalam masjid. Sehingga kami seperti terasingkan dari kerjasama yang telah disepakati sebelumnya. Akhirnya saya menutup les ini hingga batas yang tidak ditentukan meskipun banyak yang meminta kami bertahan namun kami masih kekurangan personil untuk kembali bersatu. Sebagian besar dari kami sudah disibukkan dengan skripsi dan pekerjaan baru.

Tentunya banyak lagi program-program yang kami sudah selenggarakan dengan bantuan donatur-donatur dan lembaga yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Banyaknya momen yang sudah saya lewati menjadikan kami individu yang terbuka dan semakin dewasa. Belajar dari pengalaman-pengalaman terjun membantu kehidupan sosial memberikan kesimpulan bahwa masyarakat kita cenderung berperilaku dengan pola yang sudah ada sejak dulu. Masih sedikit yang menyadari perkembangan ilmu pengetahuan sehingga kualitas diri setiap individu tidak beranjak naik. Tanpa kekuatan yang besar saya tidak mungkin kembali menjadi manusia yang berguna bagi mereka. oleh karena itu saya bersemangat untuk melanjutkan pendidikan saya hingga level yang tinggi. Saya bercita-cita menghasilkan karya penelitian yang dapat menjadi literasi bagi masyarakat Indonesia. Menjadi pribadi yang mendorong orang-orang untuk sadar pendidikan. Memiliki suatu badan yang peduli terhadap perkembangan ilmu pendidikan. Marketnya tentu para orang tua di Jakarta sehingga mereka mengetahui penyebab sulitnya hidup di lingkungan yang minim budaya akademis.

Jumat, 29 Juni 2018

Jobless syndrome - I did my best


Semua hal  yang meliput diri kita adalah karunia  tuhan yang patut diterima dan disyukuri. Begitulah cara aku menghindari kufur atas nikmat tuhan. Sejak awal april 2018 aku telah memulai hidup yang baru.  Mengambil keputusan yang butuh pertimbangan  besar juga mengorbankan beberapa kepentingan. Aku kira ini akan berjalan sangat mulus ternyata tidak. Untungnya aku tidak serta merta berfikir semuanya akan baik-baik saja. Aku menyisipkan ‘hidupku akan sulit’ di deretan pertimbanganku dan ini cukup berperan menebal mentalku.

Aku keluar dari comfort zone, memasuki zone yang baru, yang sangat membutuhkan adaptasi. Hari-hari berjalan begitu saja. Tidak berhak diungkap melelahkan atau membahagiakan. Bahkan garis deretan semut di tembok lebih indah dibanding hari-hari ku. Waktu ku setiap hari nya lebih banyak ku porsikan untuk mengurus keponakan ku yang baru berusia 2 tahun. Aku mampu merasakan bagaimana nyamannya anak balita, seringkali aku diandalkan untuk menyuapi keponakanku saat sulit makan, tidak mau mandi, atau sedang menguring.

Namun ada kalanya hari-hari terasa begitu sulit. Tidak ada dering sms banking setiap tangal 25 seperti sebelumnya. Hanya ada sms promo dari berbagai produk dan notifikasi kuota internet ku yang habis lebih cepat dari biasanya apalagi jika ada undangan pernikahan, limit pengeluaranku bisa lebih besar dari yang aku targetkan. Tidak banyak yang bisa diusahakan setidaknya aku mampu fokus dan bertahan. Menjadi pengangguran tidak  semudah yang dibayangkan saat dulu bosan bekerja. Jobless syndrome, ya ini adalah kelainan yang aku alami selama 3 bulan terakhir. Syndrome yang dulu aku khawatirkan terjadi kepada ayahku sebelum beliau pensiun dari pekerjaannya. Nyatanya terjadi mutlak padaku. Gejala ini membuat diriku sangat sensitif. Mungkin seperti ini rasanya menjadi wanita datang bulan atau seseorang yang belum menikah hingga usianya mencapai setengah abad. 

Secara emosional aku mudah terusik terhadap hal-hal yang sebelumnya sangat mudah aku abaikan. Terkadang aku marah hanya karna ibu ku bersaran atas sesuatu, marah ketika aku sadar pasta gigi ku tidak berada pada posisi biasanya aku berfikir bahwa ada yang menggunakan pasta gigiku, merasa payah ketika adik ku memberikan angpao lebaran ke sanak saudara dihadapanku, merasa payah ketika kakak ku baru saja membeli Iphone baru seharga belasan juta dan banyak lagi gejala-gejala lainnya. Aku menjadi sangat pelit namun untungnya aku sadar bahwa ini adalah sebuah gejala pengangguran. aku selektif menghitung uang yang keluar dari kantongku bahkan sekecil Rp.2000. mungkin untuk sebagian orang ini aneh namun beginilah cara aku bertahan hidup.  Aku tidak ingin membebani orang tua ku untuk meminta uang saku lagi jikalau tabunganku habis. Aku maupun orang lain dapat menilai bahwa aku orang yang penyabar atas setiap problem yang mudah membuat stress orang lain. Sehingga aku sering dijadikan penengah oleh teman-temanku. Tapi dalam fase ini aku banyak gagal. Aku tidak berhasil sabar, aku mudah marah dan kecewa.

Aku bersyukur tuhan memberikanku lagi suatu fase dimana aku bisa merasakan menjadi orang lain. Sebuah anugerah yang belum tentu diberikan kepada orang lain. Yang aku pahami adalah menjadi siapapun tidak pernah mudah. Aku mengilhami diriku untuk jangan pernah meremehkan kehidupan orang lain. Mereka bersusah payah untuk bertahan hidup.  Aku sangat beruntung.

Aku tergolong pria yang punya cita-cita yang besar. orang tua ku sering bilang aku banyak mau nya. Bekerja di luar negeri, memiliki tubuh yang ideal, menjadi entrepreneur, memiliki keluarga yang bahagia dan berpendidikan tinggi adalah sederet cita-cita ku, sehingga banyak aturan yang aku bangun untuk diriku sendiri hingga saat nya tiba aku sudah siap dengan segala kebiasaannya.

Aku belajar membiasakan diriku dengan rutinitas yang positif karna aku percaya orang yang berhasil memiliki kebiasaan yang positif setiap harinya. Membaca buku, olahraga, praktik bahasa asing, beribadah, pola makan sehat adalah metode yang aku bangun untuk mencapai semuanya, namun dalam fase ini rutinitas itu sering rontok. Kadang aku depresi  “apa yang aku cari dalam hidup ini? Apa yang sudah aku lakukan hingga berani mengorbankan segalanya? Umurku makin bertambah. Aku gila, bodoh, ketinggalan dengan yang lain” tanyaku dalam hati. Aku coba bertoleransi dengan diri ku sendiri bahwa untuk mencapai tujuan tidak pernah langsung berhasil, trial and error selalu terlibat.

Aku tahu untuk mencapai kesuksesan memang tidak mudah, nyatanya sebuah kata tidak seberat saat mengalami. Aku benar-benar merasa down. Besar keinginanku untuk kembali seperti orang lain. Bekerja, menjalani hidup apa adanya, linier tanpa masalah tidak cemas berapapun rupiah yang keluar karena tanggal 25 selalu bertemu. Namun nalar ku tidak henti berbisik “jangan bersikap bodoh, hidup tidak ada yang mudah, apalagi kamu ingin menjadi sesuatu yang kamu impikan bertahun-tahun sejak kamu kecil, jangan membohongi hatimu, tetap fokus, tenang, jika lelah ambil porsi untuk istirahat” hingga akhirnya otak dan hatiku bersinkronasi membuahkan kalimat sederhana yang penuh makna “i did my best” begitulah sabda ringan yang keluar secara alami. Kapanpun aku depresi kalimat itu seakan menghapus hutang-hutangku membenamkan segala ‘keharusan’. Aku menjadi pribadi yang lebih ikhlas dan mudah bangkit.

Senin, 21 Mei 2018

Kenapa orang mau dan berani banget bunuh diri?


Negeri kita kembali dijadikin arena berulah penjahat2 kelas kakap. Road to Blessed Ramadhan banyak banget kejadian2 yang bikin iba, miris. Awalnya berita kerusuhan di Mako Brimob yang  menewaskan 5 orang polisi lalu peledakkan bom di 3 gereja di Surabaya disusul ledakan di Rusun di daerah Sidoarjo, yang terakhir peledakkan bom di Polrestabes Surabaya.

Well, tindakan ekstrim kaya diatas nggak lain pasti ngerugiin banyak orang. Entah keluarga korban sendiri atau warga sekitar tempat kejadian. Gue ga begitu paham suara hati seperti apa yang mendorong mereka berani mengkhatamkan diri  pake cara itu..brutal. Pastinya berbekal tujuan absurd yang cuma menguntungkan golongan tertentu dengan orang lain sebagai umpannya. Tapi gue yakin mereka (pelaku) bertindak secara ‘ga sadar’ nalarnya ‘ngambang’ karna bunuh diri nyeremin, nakutin, nyakitin. i don’t know wht the actual reason is pastinya mereka si pelaku udah nggak kuasa nahan banyak persoalan yang bikin sirkulasi darahnya ruwet sampe lepas kendali.

Kemungkinan aspek yang menghendaki kejadian ini banyak guys, faktornya bisa dari internal ataupun eksternal. Penyakit mental atau tindakan impulsif juga worth it dijadiin aspek yang ngundang pikiran mereka untuk mengakhiri semuanya dengan to the point. Gue yakin angannya nggak neko, mereka  cuma mau rasa sakitnya berakhir, not their lives at all.

Menurut gue sebuah pertanyaan ‘Kenapa seseorang bersedia menjadi tokoh aksi bom bunuh diri?’ adalah brainwashing jawabannya atau cuci otak yang cara kerjanya dengan merelokasi cara berpikir pelaku (korban) yang bikin keliru output sehingga ada kekacauan di sikap, keyakinan dan perilaku.

Umumnya yang sering menjadi korban adalah orang yang otak kanan nya lebih dominan dibanding otak kiri. Sebab otak kanan lebih memprioritaskan emosi ketimbang logika. Tapi agen dibalik pelaku bom bunuh diri juga nggak bodoh, ga pandang golongan otak sebelah mana mereka pasok ketakutan atau ancaman yang besar supaya mentalnya si korban mengkerut jadi otak kiri mereka melemah dan nggak kuasa lagi berfikir objektif sampai mampu menjadikan tindakan tersebut menjadi jalan tol menuju surga. Semakin banyak yang tewas maka pahala yang didapat semakin banyak pula. Ini jelas-jelas mental yang salah!

Didalam ajaran agama gue kita ga diajarin buat membunuh. Bahkan Rasul sangat beradab saat berperang melawan musuh. Ga boleh menyakiti anak2 ataupun wanita, ga boleh menghancurkan tempat ibadah, ga boleh merusak pepohonan, ga boleh mencuri harta dst. Jadi gue sangat menolak keras jika ajaran Islam dijadiin sebuah filsafat mereka ngelakuin itu. They wear moslem attribute. We do agree that never judge anyone by its cover. Even they are not wearing clothes we will not judge  any belief. Jika mereka kami klaim sebagai manusia yang senang berpakaian ‘kurang’ di TV dan melakukan adegan asusila untuk umum, Do we state their belief teach them? Terribly not.

 

Pada akhirnya, banyak banget hal yang bisa kita telusuri mereka benar atau salah lewat logika simpel kita. if you are human who really expect a gospel truth just give your brain minutes to think about. dont let your external influences you. Even [if i’m not mistaken] 80% of mind is fulfilled by external but u are able to make remains stronger.

So, pikirkan baik-baik bahwa niat sejati agen pelaku menghendaki kejadian ini adalah menyampaikan pesan terselubung agar persatuan kita meretak. Lewat clue nya dalam bentuk atribut akidah supaya setiap kita berhak menghakimi suatu kelompok atas landasan ancaman. At the end, gue cuma mau bilang mari bersama-sama berfikir lebih clear atas setiap persoalan yang menggrogoti kerukunan negeri kita Indonesia, jangan saling tunjuk ataupun men-judge terutama pelaku yang sebenarnya adalah korban. Perangi aksinya bukan orangnya. Bhinneka Tunggal Ika adalah kekuatan kita. Mari kita tunjukkan! #kamitidaktakut